Kamis, 29 Maret 2012

Kondisi Geologi Di Aceh

1. Pola Tektonik

Aktivitas geologi di wilayah Aceh dimulai pada zaman Miosen, yakni saat diendapkannya batuan yang dikenal sebagai Formasi Woyla. Pada zaman tersebut dihasilkan struktur geologi yang berarah selatan-utara, yang diikuti oleh permulaan subduksi lempeng India-Australia terhadap lempeng Eurasia pada zaman Yura Akhir. Pada periode Yura Akhir-Kapur diendapkan satuan batuan vulkanik. Selanjutnya, di atas satuan ini diendapkan batu gamping (mudstone dan wreckstone) secara tak selaras berdasarkan ditemukannya konglomerat atas.
Pada akhir Miosen, Pulau Sumatera mengalami rotasi searah jarum jam. Pada zaman Pliopleistosen, arah struktur geologi berubah menjadi barat daya-timur laut, di mana aktivitas tersebut terus berlanjut hingga kini. Hal ini disebabkan oleh pembentukan letak samudera di Laut Andaman dan tumbukan antara Lempeng Mikro Sunda dan Lempeng India-Australia terjadi pada sudut yang kurang tajam. Terjadilah kompresi tektonik global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera dan pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan pada zaman Pleistosen.
Pada akhir Miosen Tengah sampai Miosen Akhir, terjadi kompresi pada Laut Andaman. Sebagai akibatnya, terbentuk tegasan yang berarah NNW-SSE menghasilkan patahan berarah utara-selatan. Sejak Pliosen sampai kini, akibat kompresi terbentuk tegasan yang berarah NNE-SSW yang menghasilkan sesar berarah NE-SW, yang memotong sesar yang berarah utara-selatan.
Pola tektonik wilayah Aceh dikontrol oleh pola tektonik di Samudera Hindia. Samudera Hindia berada di atas lempeng samudera (Indian – Australian Plate), yang bergerak ke utara dengan kecepatan 6–8 cm per tahun. Pergerakan ini menyebabkan Lempeng India – Australia menabrak lempeng benua Eropa – Asia (Eurasian Plate). Di bagian barat, tabrakan ini menghasilkan Pegunungan Himalaya; sedangkan di bagian timur menghasilkan penunjaman (subduction), yang ditandai dengan palung laut Java Trench membentang dari Teluk Benggala, Laut Andaman, selatan Pulau Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, hingga Laut Banda di Maluku.


Di Sumatera, penunjaman tersebut juga menghasilkan rangkaian busur pulau depan (forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P. Batu, P. Siberut hingga P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di tengahnya, serta sesar aktif ’The Great Sumatera Fault’ yang membelah Pulau Sumatera mulai dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke Laut Andaman hingga Burma. Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas sentimeter per tahun dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya, yaitu: Sesar Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar Blangkejeren. Khusus untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dihimpit oleh dua patahan aktif, yaitu Darul Imarah dan Darussalam. Patahan ini terbentuk sebagai akibat dari adanya pengaruh tekanan tektonik secara global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera serta pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang berada di sepanjang patahan tersebut merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan tanah longsor, disebabkan oleh adanya aktivitas kegempaan dan kegunungapian yang tinggi. Banda Aceh sendiri merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak Pliosen, hingga terbentuk sebuah graben. Dataran yang terbentuk tersusun oleh batuan sedimen, yang berpengaruh besar jika terjadi gempa bumi di sekitarnya.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat, sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian timur yang turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang bergerak naik), sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di bagian timur, gambut dan bakau lebih berkembang dibandingkan terumbu karang.
Dengan gambaran tersebut di atas, maka tidak hanya wilayah Aceh, namun wilayah-wilayah lain di pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa dan Nusa Tenggara juga perlu mewaspadai kemungkinan bencana serupa.

2. Sifat Fisik Batuan dan Tanah

Batuan di Aceh dapat dikelompokkan menjadi batuan beku dan batuan metamorfik atau malihan, batuan sedimen dan gunungapi tua, batugamping, batuan gunung api muda, serta endapan aluvium. Secara rinci dijelaskan sebagai berikut.
1. Kelompok batuan beku dan batuan metamorfik—terdiri dari: granit, diorit, gabro, sekis, dan batu sabak—terdapat di bagian tengah Bukit Barisan. Batuan bersifat padu, kelulusan airnya rendah, daya dukung fondasi bangunan umumnya baik, mampu mendukung bangunan bertingkat tinggi, dan jarang menjadi akuifer. Granit, diorit, dan gabro dapat digunakan sebagai bahan bangunan, meskipun tidak sebagus andesit. Tanah hasil pelapukannya bertekstur lempung hingga pasir. Kesuburan potensialnya tergolong sedang karena kandungan silikanya yang tinggi.
2. Kelompok batuan sedimen dan gunung api tua—terdiri dari breksi, konglomerat, dan lava—terdapat di bagian tepi Bukit Barisan dan daerah perbukitan rendah yang membentang dari Sigli hingga Pangkalanbrandan di Sumatera Utara. Sifat batuan umumnya padu, kelulusan airnya rendah, mampu mendukung bangunan bertingkat, dan dapat menjadi akuifer dengan produktifitas kecil hingga sedang. Tanah hasil pelapukannya bertekstur lanau hingga pasir. Kesuburan potensialnya berkisar rendah hingga sedang.
3. Batugamping terdapat memanjang di daerah Lhok Nga, sebelah selatan Banda Aceh, dan di Lampeunerut. Bersifat padu atau berongga, kelulusannya beragam tergantung dari banyaknya rongga. Pada batugamping padu, daya dukung terhadap pondasi tergolong bagus. Batugamping dapat digunakan sebagai bahan bangunan dan bahan baku semen. Tanah hasil pelapukannya bertekstur lempung dan umumnya mempunyai kesuburan potensial tinggi.
4. Kelompok batuan gunungapi muda—terdiri dari tufa, aglomerat, breksi volkanik, dan lava—terdapat di daerah perbukitan di sebelah selatan Lhokseumawe. Pada umumnya batuan bersifat agak padu, kelulusan airnya sedang hingga tinggi, dan daya dukung pondasi bagus. Tanah hasil pelapukannya bertekstur lempung, lanau dan pasir; kesuburan potensialnya tinggi.
5. Kelompok endapan aluvium—terdiri dari lempung dan pasir—terdapat di sepanjang pantai dan di sepanjang DAS Krueng Aceh, termasuk Kota Banda Aceh. Endapan masih bersifat lepas hingga agak padu, kelulusan airnya rendah hingga sedang, daya dukung pondasinya rendah hingga sedang, dan kesuburan potensial tanahnya rendah hingga tinggi.


Sumber: Dari berbagai sumber

Minggu, 25 Maret 2012

Berita Kota Subulussalam Tanggal 12 Maret 2012. Terbaru


DISBUNHUT SURATI KADES SE KOTA SUBULUSSALAM 


Subulussalam. Onlinenews. Menyikapi instruksi presiden RI No. 4 tahun 2005 tanggal 25 maret 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara illegal dalam kawasan hutan, juga instruksi Gubernur Aceh No. 5 /INSTR/1007 tanggal 6 Juni 2007 tentang moratorium logging, dengan berbagai tujuan sesuai aturan. Dalam hal ini Disbunthut Kota Subulussalam menyuratiseluruh Kepala Desa (Kades) se Kota Subulussalam untuk segera mematuhi instruksi Presiden RI dan Gubernur Aceh.

Ada lima poin yang diimbau, agar masyarakat segera menghentikan segala bentuk yang menyalahi aturan, seperti : 
1. Membuka hutan baik hutan lindung, hutan produksi, dan konservasi. 
2. Membuka lahan pada areal yang topografi berat, dan daerah yang rawan longsor
3. Dalam membuka lahan kebun dilarang keras melakukan pembakaran. 
4. Dilarang melakukan penebangan kayu/pohon tanpa izin dari pihak yang berwenang.

Kesemuanya himbauan ini adalah dengan tujuan dan salah satunya adalah untuk melestarikan hutan sesuai aturan dan hal ini perlu dipatuhi oleh masyarakat. Pemerintah selalu mencanangkan untuk penghijauan hutan dan pada belakangan ini diinstruksikan penanaman satu milliard pohon dan hal ini di Kota Subulussalam juga telah ditanggapi serius oleh pemerintah. 

Melihat yang terjadi di Kota Subulussalam, persoalan ini perlu disosialisasikan kepada segenap masyarakat, apa dan bagaimana aturan yang ada, karena ternyata selama ini hampir semua masyarakat di daerah ini “awam”, dalam arti bahwa masyarakat tak tahu yang mana hutan lindung dan yang mana itu hutan produksi. Sehingga masyarakat di daerah ini perlu pengenalan dan sosialisasi hal ini lah bahasa yang disampaikan seorang pengamat kepada media ini di Kota Subulussalam. Kesemuanya hal ini perlu keseriusan, dalam menanggulangi persoalan ini, jikalau memang hutan perlu dilestarikan ya tentu semua pihak harus mejaga terlebih-lebih instansi terkait harus tegas melihat apa yang terjadi di daerah ini selama ini. Ketegasan instansi terkait adalah salah satu bukti keterkaitan tentang pelestarian hutan, Pamhut juga harus jangan berpangku tangan, hutan-hutan yang ada di Kota Subulussalam perlu dijaga seutuhnya agar semua persoalan ini dapat terjawab. (Saran)

Login with facebook klik here



Sabtu, 24 Maret 2012

INFORMASI MENGENAI SNMPTN DAN BIDIKMISI 2012

Jadwal Pendaftaran Bidikmisi



Mengenai NISR

http://bidikmisi.dikti.go.id/bantuan/knowledgebase.php?article=69 

 

INFO SNMPTN 2012

http://halo.snmptn.ac.id/


PENDAFTARAN BIDIK MISI 2012

http://daftar.bidikmisi.dikti.go.id/

Salinitas Air Laut

Air laut mengandung 3,5% garam-garaman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut. Keberadaan garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air laut (seperti: densitas, kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana densitas menjadi maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat yang sangat ditentukan oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya hantar listrik (konduktivitas) dan tekanan osmosis.
Garam-garaman utama yang terdapat dalam air laut adalah klorida (55%), natrium (31%), sulfat (8%), magnesium (4%), kalsium (1%), potasium (1%) dan sisanya (kurang dari 1%) teridiri dari bikarbonat, bromida, asam borak, strontium dan florida. Tiga sumber utama garam-garaman di laut adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik dan sirkulasi lubang-lubang hidrotermal (hydrothermal vents) di laut dalam.
Secara ideal, salinitas merupakan jumlah dari seluruh garam-garaman dalam gram pada setiap kilogram air laut. Secara praktis, adalah susah untuk mengukur salinitas di laut, oleh karena itu penentuan harga salinitas dilakukan dengan meninjau komponen yang terpenting saja yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah dalam gram ion klorida pada satu kilogram air laut jika semua halogen digantikan oleh klorida. Penetapan ini mencerminkan proses kimiawi titrasi untuk menentukan kandungan klorida.
Salinitas ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah total dalam gram bahan-bahan terlarut dalam satu kilogram air laut jika semua karbonat dirubah menjadi oksida, semua bromida dan yodium dirubah menjadi klorida dan semua bahan-bahan organik dioksidasi. Selanjutnya hubungan antara salinitas dan klorida ditentukan melalui suatu rangkaian pengukuran dasar laboratorium berdasarkan pada sampel air laut di seluruh dunia dan dinyatakan sebagai:
S (o/oo) = 0.03 +1.805 Cl (o/oo) (1902)
Lambang o/oo (dibaca per mil) adalah bagian per seribu. Kandungan garam 3,5% sebanding dengan 35o/oo atau 35 gram garam di dalam satu kilogram air laut.
Persamaan tahun 1902 di atas akan memberikan harga salinitas sebesar 0,03o/oo jika klorinitas sama dengan nol dan hal ini sangat menarik perhatian dan menunjukkan adanya masalah dalam sampel air yang digunakan untuk pengukuran laboratorium. Oleh karena itu, pada tahun 1969 UNESCO memutuskan untuk mengulang kembali penentuan dasar hubungan antara klorinitas dan salinitas dan memperkenalkan definisi baru yang dikenal sebagai salinitas absolut dengan rumus:
S (o/oo) = 1.80655 Cl (o/oo) (1969)
Namun demikian, dari hasil pengulangan definisi ini ternyata didapatkan hasil yang sama dengan definisi sebelumnya.
Definisi salinitas ditinjau kembali ketika tekhnik untuk menentukan salinitas dari pengukuran konduktivitas, temperatur dan tekanan dikembangkan. Sejak tahun 1978, didefinisikan suatu satuan baru yaitu Practical Salinity Scale (Skala Salinitas Praktis) dengan simbol S, sebagai rasio dari konduktivitas.
"Salinitas praktis dari suatu sampel air laut ditetapkan sebagai rasio dari konduktivitas listrik (K) sampel air laut pada temperatur 15oC dan tekanan satu standar atmosfer terhadap larutan kalium klorida (KCl), dimana bagian massa KCl adalah 0,0324356 pada temperatur dan tekanan yang sama. Rumus dari definisi ini adalah:
S = 0.0080 - 0.1692 K1/2 + 25.3853 K + 14.0941 K3/2 - 7.0261 K2 + 2.7081 K5/2
 
Catatan:
Dari penggunaan definisi baru ini, dimana salinitas dinyatakan sebagai rasio, maka satuan o/oo tidak lagi berlaku, nilai 35o/oo berkaitan dengan nilai 35 dalam satuan praktis. Beberapa oseanografer menggunakan satuan "psu" dalam menuliskan harga salinitas, yang merupakan singkatan dari "practical salinity unit". Karena salinitas praktis adalah rasio, maka sebenarnya ia tidak memiliki satuan, jadi penggunaan satuan "psu" sebenarnya tidak mengandung makna apapun dan tidak diperlukan. Pada kebanyakan peralatan yang ada saat ini, pengukuran harga salinitas dilakukan berdasarkan pada hasil pengukuran konduktivitas.
Salinitas di daerah subpolar (yaitu daerah di atas daerah subtropis hingga mendekati kutub) rendah di permukaan dan bertambah secara tetap (monotonik) terhadap kedalaman. Di daerah subtropis (atau semi tropis, yaitu daerah antara 23,5o - 40oLU atau 23,5o - 40oLS), salinitas di permukaan lebih besar daripada di kedalaman akibat besarnya evaporasi (penguapan). Di kedalaman sekitar 500 sampai 1000 meter harga salinitasnya rendah dan kembali bertambah secara monotonik terhadap kedalaman. Sementara itu, di daerah tropis salinitas di permukaan lebih rendah daripada di kedalaman akibatnya tingginya presipitasi (curah hujan).

sumber: http://oseanografi.blogspot.com/2005/07/salinitas-air-laut.html



Login With Facebook klik HERE